Setelah selesai suatu sesi ceramah, sang sopir menantang bosnya untuk bertukar tempat. ”Pasti terasa membosankan memberikan bicara yang sama setiap saat, Profesor Planck. Bagaimana jika aku melakukannya untukmu di Munchen? Anda dapat duduk di bangku depan dan mengenakan topi sopir milikku. Dengan begitu, kita berdua akan mendapatkan pengalaman baru.”
Planck menyukai ide sopir pemberani itu. Jadi, malam itu, sopirnya-lah yang memberikan kuliah panjang mengenai mekanika kuantum di depan peserta para mahasiswa, dosen, dan ahli fisik se-Jerman yang baik.
Semua berjalan lancar dan bicara ”Planck” mendapat tepuk tangan panjang hingga turun mimbar. Tiba-tiba keadaan menjadi tegang ketika tanpa terlupakan, seorang profesor fisika kenamaan Jerman berdiri dan ngotot mengajukan pertanyaan.
Meski sedetik sempat panik, ”Mr Planck cepat menguasai situasi. Sambil tetap berdiri, dia berucap dengan harapan, ”Saya tidak pernah berpikir seseorang yang berasal dari Kota Munchen yang begini maju akan menanyakan pertanyaan sesederhana itu. Sopir saya akan menjawabnya.”
Menurut Profesor Rolf Dobelli dari Universitas St. Gallen, Swiss, (yang menceritakan kisah Max Planck dan sopirnya di buku yang sudah cetak enam kali di Indonesia), dari cerita di atas, ada dua tipe pengetahuan. Pertama, kita memiliki pengetahuan yang sebenarnya. Kita melihatnya pada orang yang memberikan banyak waktu dan usaha untuk memahami satu topik.
Yang kedua adalah tipe pengetahuan sopir. Yaitu, pengetahuan milik mereka yang telah belajar untuk tampil. Mungkin mereka memiliki suara yang indah atau rambut yang bagus, tapi pengetahuan yang mereka ciptakan milik mereka sendiri. Mereka dengan fasih mengucapkan kata-kata pandai seperti sedang membaca dari naskah.
Sayangnya, sekarang kita semakin sulit untuk memisahkan pengetahuan yang sebenarnya dengan pengetahuan sopir.
Pengetahuan lebih mudah dijumpai pada sebagian pembaca berita. Mereka adalah aktor. Titik. Semua orang tahu itu. Dan tetap saja saya terkejut melihat besar besar yang dinikmati pembaca naskah yang didandani dengan baik itu. Belum lagi uang yang mereka hasilkan dengan menjadi moderator dalam panel diskusi mengenai topik yang materinya hampir tidak mereka mengerti.
wartawan lebih sulit. Beberapa di antara mereka telah mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya. Tidak jarang, mereka adalah wartawan veteran yang telah memiliki spesialisasi selama bertahun-tahun di bidang tertentu. Mereka dengan serius berusaha memahami suatu subjek dan mengungkapkannya.
Sayangnya, sebagian besar terjebak dalam kategori sopir. Mereka menyulap artikel berdasarkan apa yang ada di dalam pikiran mereka atau malah melalui pencarian di Google dan medsos. Tulisan-tulisan mereka berpihak, pendek, dan sering kali sebagai kompensasi atas pengetahuan yang setengah-setengah, kasar, dan bernada memuaskan diri sendiri.
Kedangkalan yang sama juga terjadi di dunia bisnis. Semakin besar suatu perusahaan, semakin para CEO diharapkan untuk memiliki ”kualitas bintang”. Dedikasi, keseriusan, dan penghargaan kurang dihargai. sering kali pemegang saham percaya bahwa melihat penampilan akan memberikan hasil yang lebih baik; padahal, jelas bukan itu yang terjadi.
Untuk melindungi diri dari efek ”sopir”, Warren Buffet, salah seorang terkaya di dunia, telah menciptakan frasa yang indah, ”lingkaran kompetensi”: Apa yang terjadi di dalam lingkaran itu Anda pahami secara intuitif. Sementara yang berada di luarnya mungkin hanya Anda yang memahami sebagian.
Salah satu potongan nasihat terbaik dari Buffet adalah: ”Anda dapat tinggal di dalam apa yang saya sebut lingkaran kompetensi Anda. Anda harus tahu apa yang Anda pahami dan apa yang tidak Anda pahami. Tidak penting seberapa besar lingkaran itu. Tapi, yang sangat penting adalah Anda tahu di mana batasnya.”
Buffet menggarisbawahi hal berikut ini: ”Jadi, Anda harus mengetahui kemampuan Anda sendiri. Anda akan kalah jika bertanding dengan orang lain yang memiliki bakat, sedangkan Anda tidak. Anda harus mengetahui di mana Anda unggul. Dan Anda harus bermain di dalam lingkaran kompetensi Anda.”
Kesimpulannya: Waspadalah terhadap pengetahuan sopir. Jangan sampai salah membedakan antara pemimpin sirkus, buzzer, pembaca berita, pembicara, atau tukang jual kecap dengan mereka yang mengetahui pengetahuan sebenarnya.
Bagaimana bisa mengenali perbedaannya? Ada indikator yang jelas: Para ahli sejati mengenali batasan apa yang mereka ketahui dan apa yang tidak mereka ketahui. Jika diri mereka berada di luar lingkaran kompetensi, mereka akan diam atau berkata, ”Saya tidak tahu.” Hal ini mereka ungkapkan tanpa menyesal. Bahkan, dengan sedikit rasa bangga. Sedangkan dari sopir, kita mendengar semuanya, kecuali kalimat itu.
- Pemimpin Redaksi Pemimpin Redaksi Jawa Pos
!function(f,b,e,v,n,t,s)
{if(f.fbq)return;n=f.fbq=function(){n.callMethod?n.callMethod.apply(n,arguments):n.queue.push(arguments)};
if(!f._fbq)f._fbq=n;n.push=n;n.loaded=!0;n.version=’2.0′;
n.queue=[];t=b.createElement(e);t.async=!0;
t.src=v;s=b.getElementsByTagName(e)[0];
s.parentNode.insertBefore(t,s)}(window, document,’script’, https://connect.facebook.net/en_US/fbevents.js’);
fbq(‘init’, ‘313127406187438’);
fbq(‘track’, ‘PageView’);2018–2020
Note:
Berita ini di ambil secara otomatis dari:
Media: JawaPOS.COM
Penerbit: Ilham Safutra
Tanggal Terbit: 2022-07-31 12:34:36
Semua hak cipta atas postingan ini adalah milik JawaPOS.COM
JawaPOS.com merupakan bagian dari Jawa POS Grup, jaringan media terbesar di Indonesia. Dengan lebih dari 200 media tersebar di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, Jawa POS Grup berhasil menjadi penyedia informasi terlengkap, terdepan, dan terpercaya di Tanah Air.