Mantan Kepala Samsat Malingping Dituntut 7 Tahun Penjara

Avatar of Redaksi
Eks Kepala Samsat Malingping Dituntut 7 Tahun Penjara

SERANG – Mantan Ketua Samsat Malingping divonis 7 tahun penjara oleh Kejaksaan Negeri Banten, Selasa (19/10). Menurut Jaksa Penuntut Umum, Samad telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk gedung Samsat baru, di Desa Malingping Selatan, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak.
tahun 2019 senilai Rp 3,2 miliar.

“Hukuman terhadap terdakwa dengan hukuman penjara tujuh tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan,” kata Kejaksaan Agung Banten, M Yusuf Putra saat membacakan dakwaan.

Selain pidana penjara, Jaksa Penuntut Umum juga memvonis Samad dengan pidana tambahan berupa denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara dan uang pengganti Rp 680 juta subsider dua tahun penjara. “Jika uang pengganti tidak dibayarkan, maka diganti dengan hukuman penjara dua tahun,” kata Yusuf di hadapan majelis hakim yang diketuai Hosianna Mariani Sidabalok.

Menurut jaksa, perbuatan Samad telah memenuhi unsur Pasal 12 huruf i jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. “Seperti dakwaan kedua,” kata Yusuf.

Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum, kasus Samad dimulai pada 2018. Saat itu, Pemprov Banten membutuhkan lahan seluas satu hektare untuk membangun kantor Samsat Malingping. Kemudian untuk penyiapan lahan, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Banten Opar Sohari menunjuk Direktur Trigada Laroiba Mitra Bambang Ermanto untuk mengerjakan dokumen perencanaan pengadaan tanah (DPPT).

Menindaklanjuti pengangkatan Opar, Bambang melakukan survei dan menyusun DPPT. Bambang menyerahkan hasil karyanya kepada PPTK Ari Setiadi. Dari survey dan DPPT Bambang, lokasi tanah yang direkomendasikan berada di pinggir Jalan Baru Malingping – Saketi, Desa Malingping Selatan, direkomendasikan seluas 2.100 meter persegi atas nama Uyi Sapuri.

Selain Uyi, ada dua tanah lagi yang direkomendasikan. Tanah tersebut milik Cicih Suarsih seluas 1.707 meter persegi dan Ade Irawan Hidayat seluas 4.400 meter persegi. Samad yang mengetahui lokasi dan pemiliknya berdasarkan DPPT dan penawaran studi kelayakan di ketiga lahan tersebut. Dari upaya tersebut, berhasil membeli dua bidang tanah milik Ade Irawan Hidayat dan Cicih Suarsih.

Samad membeli tanah tersebut dengan harga Rp. 100.000 per meter. Selama transaksi, Samad menyembunyikan identitasnya dengan meminta orang lain sebagai pembeli. Untuk tanah Ade, Samad meminta Apriyatna menandatangani akta jual beli (AJB). Sementara itu, tanah milik Cicih Samad meminta bantuan kepada Uyi Sapuri.

Dari penilaian, harga jual ketiga lahan tersebut adalah Rp. 5,5 miliar. Namun, saat Pemprov Banten hendak membeli ketiga lahan tersebut, lahan Samad atas nama Apriyatna tersebut ternyata bermasalah karena tumpang tindih sertifikat. Oleh karena itu, sebidang tanah tidak dipilih.

Selanjutnya, Samad menghadiri perundingan antara Opar, KJPP, Uyi Sapuri dan Euis. Hasil negosiasi disepakati harga Rp. 500 ribu per meter persegi. Kemudian ganti rugi tanah dilakukan.

Usai transaksi jual beli, Samad memerintahkan Asep Saepudin untuk menemani Uyi Sapuri ke Unit Malingping Bank Banten untuk menarik uang tunai.
Dari penjualan tanah, Samad menerima Rp. 850 juta. Uang tersebut merupakan hasil penjualan tanah seluas kurang lebih 1.700 meter persegi yang dibeli dari Cicih Suarsih.

Menurut JPU, perbuatan Samad melawan hukum dan merugikan keuangan negara sebesar Rp680 juta. (Fahmi Sa’i)

Samsat Malingping, Korupsi Malingping, Bappeda Banten, Korupsi Lebak, Opar Sohari

Tinggalkan Balasan